Rabu, 08 Januari 2020

Yakinku akan Jodoh dari Mu


“Gimana Yu, sudah ketemu sama calon suamimu?”

“Sssttt… aduh mbak Hera jangan kenceng-kenceng dong ngomongnya. Ayu kan malu kalau sampai ada yang dengar”

“Lho, kenapa mesti malu”, mbak Hera mendekatiku kemudian meletakkan tangannya di kedua pundakku. “Pernikahan itu bukanlah hal yang memalukan Yu. Malah seharusnya justru kita berbagi kebahagiaan”

“Iya mbak. Ayu ngerti. Tapi masalahnya Ayu juga belum tau pada akhirnya apakah kami berdua benar akan berjodoh atau tidak. Karna jodoh hanya Allah yang tau mbak. Jadi sebelum ada tanggal yang pasti untuk mengikat janji suci, Ayu ndak mau kalau sampai ada yang tau dulu mbak”
Mbak Hera tersenyum, “ya wes … sak karepmu lah. Seng penting awakmu bahagia”


Ananda Pradita Ayu itulah namaku. Aku bekerja sebagai salah seorang karyawati di salah satu perusahaan properti terbesar di kota Surabaya. Saat ini aku berusia 27 tahun. Akan tetapi, sampai saat ini aku masih dalam status belum menikah. Namun hal ini bukan karena aku tak laku. Beberapa kali pernah ada pemuda yang mencoba dekat dan serius denganku. Tapi toh pada akhirnya hubungan kami tak pernah ada yang sampai ke jenjang pernikahan. Beberapa dari pemuda tersebut mempunyai alasan yang hampir sama saat memilih untuk menyudahi hubungan dan pada akhirnya pergi menjauh. Gadis yang membosankan. Itulah alasan mereka.

Yah, begitulah sudut pandang mereka terhadapku. Bahkan pernah suatu ketika ada seorang pemuda yang dengan kasarnya mengungkapkan hal itu langsung di hadapanku. Namun aku tak pernah merasa sedih atau menyesal sedikitpun dengan pandangan mereka terhadapku. Aku tetap bangga dengan prinsip yang aku pegang dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisku. No gandengan, no jalan malam, no pergi berduaan. Seperti itulah prinsipku dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisku dan hal ini pula lah yang membuat mereka menganggapku sebagai gadis yang membosankan. Jadi aku belum menikah bukan karena aku gak laku, ataupun karena aku tidak berusaha membuka diri, tetapi mungkin karena prinsip yang selama ini aku pegang dan pastinya sampai kapanpun aku gak akan melepaskan prinsip ini hanya demi seorang pemuda. Lagipula prinsip ini benar menurut syariat agama yang aku anut. Aku yakin, suatu hari nanti akan ada pemuda yang mengerti dan bisa menerima prinsipku ini.

“Wayo, lagi ngelamunin apaan!”

“Astagfirullah mbak Eka. Gak kok, Ayu gak lagi ngelamunin apa-apa”

“Alah bohong tuh Ka. Masa gak lagi ngelamun bisa kaget begitu. Kemarin kan dia habis ketemu calon”, sahut mbak Hera yang memang duduk di samping box ku.

“Hah! Beneran Yu? Wah congratulation ya. Terus kapan rencana naik pelaminan?”

“Aduh mbak Hera, mbak Eka, jangan keras-keras dong ngomongnya. Lagian Ayu masih belum ada rencana apa-apa kok. Mbak Hera juga, kan Ayu sudah bilang jangan cerita sama siapa-siapa dulu. Kalau gini Ayu jadi males ah cerita sama mbak Hera lagi. Gak amanah”

“Waduh, jangan ngambek gitu dong… Iya deh, mbak minta maaf. Mbak janji gak bakal ngomongin hal ini lagi di depan orang lain. Swear”

“Mbak Eka juga minta maaf ya Yu karena udah kepo sama Ayu. Jangan marah ya”

“Iya Yu. Kita berdua janji deh gak akan ngomongin hal ini lagi kecuali Ayu sendiri nantinya yang minta kami buat nyebarin undangan. Gimana?”

“Hmmm… iya deh Ayu maafin”

“Alhamdulillah”, ucap mbak Eka dan mbak Hera hampir bersamaan.

“Oke kalau gitu gimana kalau makan siang hari ini aku yang traktir. Kebetulan aku habis dapat tips dari bos”, tambah mbak Eka. Aku dan mbak Hera mengangguk setuju dan kemudian kami pun berjalan menuju kantin.


“Ayu, ada temanmu itu di depan. Katanya mau menyerahkan sesuatu sama kamu”

“Iya bu. Sebentar Ayu turun”

“Assallamualaikum bu Ayu”

“Wa alaikum sallam. Oh kamu Man. Ada perlu apa ya?”

“Sebelumnya saya mohon maaf bu karena sudah bertamu malam-malam begini. Saya sudah berusaha untuk menemui ibu di kantor tapi tidak ketemu”

“Oh iya, seharian ini kebetulan saya memang ada tugas di luar kantor. Memang ada apa?”

“Ini bu, file untuk presentasi peluncuran produk baru besok”, ucap Arman seraya menyerahkan flash disk. “Saya takut kalau saya serahkan besok, ibu tidak sempat mempelajarinya”

“Oalah… sebenarnya saya juga sedang mencari-cari data ini. Syukurlah kamu antarkan kemari Man. Sebentar ya saya ambil laptop”. Arman mengangguk, aku pun kemudian pergi ke kamarku untuk mengambil laptop.


Arman juga salah satu karyawan di tempat aku bekerja. Anaknya rajin dan cukup sopan. Walaupun usianya hanya 2 tahun lebih muda dariku, tetapi dia tetap memanggilku ibu. Ibu kan atasan saya, jadi sudah sepantasnya saya menghormati ibu dan memanggil ibu dangan sebutan ibu bukan mbak. Begitu alasannya saat suatu hari aku memintanya untuk tidak memanggilku ibu.

“Nih Man di minum dulu”, ucapku seraya menyodorkan segelas minuman.

“Terima kasih bu. Maaf saya malah jadi merepotkan”

“Ah gak papa. Cuma air ini. Silahkan”

“I – iya bu. Terima kasih”

Kemudian aku mulai memindahkan data dari flash disk Arman ke dalam laptopku. Tanpa kusadari diam-diam Arman memperhatikanku seraya meminum tehnya.

“Subhanallah… sungguh ayu gadis di hadapanku ini. Sama seperti namanya, tingkah lakunya pun se–Ayu rupanya. Sungguh beruntung pria yang kelak akan meminangnya”, batin Arman.


“Ini Man”, ucapku seraya menyodorkan flash disk Arman. Arman pun tersadar dari lamunannya.
Sekali lagi terimakasih ya”

“Iya bu, sama-sama. Kalau begitu saya permisi pamit bu. Assallamu’alaikum”

“Wa’alaikum sallam”


“Siapa dia Yu?”, ibu bertanya usai aku menutup pintu.

“Eh ibu. Namanya Arman bu. Arman juga salah satu karyawan di tempat Ayu bekerja. Tadi dia ke sini nganterin file data buat presentasi besok bu”

“Oh… ibu kira tadi dia teman dekat kamu”, ucap ibu dengan nada sedikit kecewa.

Aku hanya tersenyum. Aku sadar, sebagai seorang anak aku belum bisa membahagiakan kedua orangtuaku. Terlebih ayahku yang kini pun telah tiada. Terlebih lagi ibu yang kini pun sudah mulai lanjut usia. Di usia ibu sekarang, aku tau ibu pasti sudah sangat ingin menimang cucu. “Ibu, yang sabar ya…”, ucapku seraya memeluk ibu. “…dan terus doakan Ayu supaya Ayu bisa segera bertemu dengan jodoh pilihan Allah”


“Sebenarnya kamu mau nyari suami yang bagaimana to nduk? Ibu liat setiap kali ada laki-laki yang datang untuk menanyakanmu, kamu selalu bilang belum cocok”, ibu mendesah kemudian melanjutkan. “Yu… bapakmu udah gak ada. Ibu takut…”, sejenak ibu terdiam. Terlihat ia berusaha untuk menahan air matanya. Jujur aku pun tak sanggup melihatnya begini. “…ibu takut ibu juga gak sempat nemoni kamu di pelaminan nduk”. Kali ini ucapan ibu terasa bak sebilah pedang yang mengoyak hatiku. Ya Allah… sungguh bukanlah maksduku untuk membuat ibuku sesedih ini. Ampuni aku Ya Allah…

“Ibu… maafin Ayu. Ayu belum bisa membahagiakan ibu…”, ucapku dalam tangis…




Cerpen Karangan: Anahakarta

Blog / Facebook: lexa_caca@gmail.com
Seorang guru di salah satu SMA swasta. Lahir 19 April 1990 dan besar di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Anak pertama dari 4 bersaudara.

Source : Cerpenku.com

0 komentar

Posting Komentar