NU harus tetap dilanggengkan dalam rangkaian untaian jam’iyah yang
utuh dan terus berkesinambungan. Sekali waktu, NU harus pula dibersihkan
kotorannya dari unsur-unsur yang hendak merugikan perjuangan NU itu
sendiri, baik individu maupun kelompok tertentu, baik internal maupun
eksternal, tanpa harus merusak tataran jam’iyah yang telah kokoh dan
kuat (jabbar) dan telah terbukti kegigihan perjuangannya (qahhar). Karena itu kita hendaknya selalu muhasabah, evaluasi dan refleksi diri, tanpa menyalahkan dan mencaci orang lain.
Demikian, salah satu pernyataan penting dalam Silaturrahim Dzurriyah,
Masyayikh, Habaib, dan Ulama Se-Jawa Timur, “Menegaskan Pengertian
Khittah NU” di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah tadi siang.
Kegiatan tersebut diikuti oleh ratusan ulama dan pengasuh pondok
pesantren. Di antara yang hadir, Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, Prof. Dr.
Rohmat Wahab, Dr. Marzuki Ali (mantan ketua DPR RI), Gus Hilmi
Ash-Siddiqi (Jakarta), KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, dan KH. Afifuddin
Muhajir.
Kegiatan silaturrahim tersebut, menghasilkan sembilan rumusan, yaitu:
Pertama, sebagai prinsip pergerakan dan pengabdian, khittah secara
substansif sejatinya sudah digariskan oleh KH. Hasyim Asy’ari, yakni
kembali pada garis perjuangan para ulama salafussholihin sebagaimana doa
yang biasa kita panjatkan kepada Allah SWT Untuk itu, khittah sebagai
garis perjuangan perlu diaktualisasikan kembali dalam ranah jam’iyah dan jamaah.
Kedua, melaui gerakan kultural ini, majelis silaturahim mengajak kepada semua warga NU untuk selalu melakukan muhasabah
terhadap fenomena ke-NU-an yang terjadi selama ini. Tindakan koreksi
diri menjadi lebih bijak karena tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap
manusia. Selain koreksi diri, kita semua juga memiliki kepedulian dan
keberpihakan kepada jam’iyah NU agar menjalankan organisasi sebagai
sarana ibadah, perjuangan, dan pengabdian kepada Allah SWT. Jangan
jadikan organisasi sebagai alat untuk memuluskan kepentingan pragmatis
pribadi dengan menjauhkan prinsip perjuangan yang telah dibangun oleh
para muassis NU.
Ketiga, niat tulus dan ikhlas dalam memperjuangkan NU hanya mengharap
target keridloan Allah. Jika ada di antara kita, baik yang jadi
pengurus maupun tidak, melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan
tradisi NU maka tegurlah dengan benar dan sabar, tawashoubil haq
watawashou bis shobri.
Keempat, permusyawaratan dalam tubuh NU sebagai jam’iyah harus
mendasarkan pada prinsip dan nilai-nilai yang dibangun para muassis.
Untuk mengembalikan prinsip-prinsip permusyawaratan, dalam setiap
penyelenggaraan permusyawaratan di berbagai tingkatan agar tidak
menggunakan cara-cara yang tidak terpuji, seperti mempengaruhi
musyawirin dengan politik uang. Fenomena permainan uang dalam setiap
permusyawaratan tentu tidak berjalan secara tunggal, ada keterlibatan
pihak lain yang ingin memanfaatkan NU secara pragmatis. Jika ini masih
terjadi dan terus dipertontonkan para pengurus, kami khawatir NU akan
kehilangan wibawa dan kharismanya sebagai jam’iyah diniyah wal
ijtima’iyah.
Kelima, forum meminta kepada PBNU agar melakukan kerja koreksi dan
seleksi terhadap penyimpangan akidah. Karena ada dugaan penyusupan
terhadap penyimpangan akidah yang tidak sejalan dengan akidah dan
prinsip-prinsip aswaja di tubuh jam’iyah NU.
Keenam, kepada seluruh warga NU yang berperan dalam politik dan
penyelenggaraan pemerintahan tetap istikomah membawa amanah NU, sehingga
NU tidak hanya dijadikan alat perebutan kekuasaan tapi harus bermanfaat
secara maslahat ammah
Ketujuh, perlu memperkuat fungsi kelembagaan musytasar di NU,
sehingga apabila terdapat penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan
kepengurusan dapat dilakukan teguran dan sanksi.
Kedelapan, PBNU hendaknya mengelola NU menjadi jam’iyah ashabul haq wal ‘adl jangan mengubah menjadi jam’iyah ashabul qoror.
Kesembilan, menghimbau kepada seluruh warga nahdliyyin agar selalu istiqomah membaca wirid Ya Jabbar Ya Qahhar
Source : Sukorejo.com
0 komentar
Posting Komentar